Akibat Cinta
Dunia
“
Rasulullah pernah bersabda kepada para
sahabat, “Akan datang suatu masa, umat lain akan memperebutkan kamu, ibarat
orang-orang yang lapar memperebut makanan dalam hidangan”. Lalu sahabat
bertanya, “Apakah kerana pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit, ya
Rasulullah?” Kemudian beliau menjawab: “Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu
pada waktu itu banyak, tetapi kamu ibarat ghatsa (buih) yang terapung-apung di
atas air bah. Dan di dalam jiwamu tertanam AL-WAHN.” Lalu sahabat bertanya lagi,
“Apakah yang dimaksud dengan al-Wahn, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Iaitu CINTA
DUNIA & TAKUT MATI.”
Suatu
keadaan yang nyata di hadapan kita sekarang, bahawa jumalah umat Islam sangat
banyak. Di dunia ini, satu million dari lima
million penduduk bumi adalah Muslim. Tetapi kita saksikan bahawa jumlah yang
banyak belum membawa umat ini keluar dari kesulitan-kesulitannya. Inilah
rupanya yang diungkapkan Rasulullah dalam hadis di atas. Patutlah kiranya kita
semua, umat Islam meneliti ke dalam, seberapa jauh kiranya kita sudah
terjangkiti penyakit al-Wahn tersebut, penyakit cinta dunia dan takut akan
kematian. Tentunya ini tak lepas dari kesalahan pandangan umumnya masyarakat
Muslim terhadap kehidupan dunia. Mengapa sampai cinta pada dunia dan takut mati?
Tentu ini kerana memandang bahwa dunia ini adalah tempatnya segala kesenangan,
dan kematian adalah pemutus kesenangan tersebut. Sungguh suatu cara pandang
yang sesat dan keliru.
DUNIA DALAM PANDANGAN ALLAH
Pada
suatu kesempatan lain, Rasulullah SAW memasuki sebuah pasar yang kanan dan
kirinya ramai dipadati manusia. Ketika itu beliau melewati seekor anak kambing
cacat yang telah menjadi bangkai. Tidak seorangpun mengacuhkan atau tertarik
melihatnya. Lantas Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, “Siapa yang
mahu membeli kambing ini dengan harga satu dirham?” Sahabat menjawab, “Sedikitpun,
kami tidak menginginkannya.” Beliau bertanya sekali lagi, “Apakah kalian
mahu jika anak kambing ini keberikan kepada kalian?” Sahabat menjawab, “Demi
ALLAH, kalaupun anak kambing itu hidup, kami tidak akan menerimanya kerana
cacatnya, maka bagaimana kami mahu menerimanya setelah menjadi bangkai?”
Mendengar
itu Rasulullah SAW berkata, “Demi ALLAH, pandangan dunia itu lebih hina
dalam pandangan ALLAH daripada bangkai kambing cacat ini dalam pandangan
kalian.”
BAGAIMANA MESTINYA KITA
MEMANDANG DUNIA
Tirmidzi
meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Rasulullah SAW tidur di
atas tikar dan ketika bangun berbekaslah tikar itu pada belakangnya, lalu kami
bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana seandainya kami buatkan untukmu tilam yang
lunak?” Beliau bersabda, “Untuk apa dunia ini bagiku? Aku di dunia ini bagaikan
seorang musafir, berhenti sebentar di bawah pohon, kemudian pergi
meninggalkannya.”
Jadi,
begitulah kiranya kita harus memandang dunia ini. Tak lebih dari pondok kecil
dalam perjalanan yang panjang. Sungguh bodoh kalau kita samapai terpaku di
pondok itu sehingga melupakan perjalanan panjang yang jadi tujuan kita.
Jelaslah bahawa segenap aktiviti kita di muka bumi ini harusnya diarahkan untuk
akhirat kita, yang kekal abadi. Seperti pernah dinyatakan oleh ulam besar kita,
Bapa HAMKA semasa hidupnya, “Hidup yang sesungguhnya itu baru dimulai pada
saat kita mati.”
Disabdakan
lagi oleh Rasulullah SAW dalam analogi lain: “Dunia ini bagaikan penjara
bagi orang mukmin dan bagaikan syurga bagi orang-orang kafir.”
Dalam
Surah al-Hadid 57: 20, ALLAH berfirman: “Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.”
AGAR TIDAK TERTIPU
OLEH KEHIDUPAN DUNIA
Memang
manusia diciptakan denagan fitrah cenderung terhadap kesenangan dunia, dan ini
boleh meningkat menjadi kecintaan. Itu merupakan ketentuan ALLAH SWT, “Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Surah Ali Imran 3: 14)
Tetapi,
jika kecenderungan ini tidak dikendalikan, maka tumbuhlah ,ifat tamak pada
manusia, sehingga seperti dikatakan Rasul, apabila diberi dua lembah penuh
berisi emas, pasti ia akan mengkehendaki lagi lemabha ketiga yang penuh berisi
emas. Inilah yang harus diatur dan diarahkan. ALLAH tidak melarang manusia
untuk menikmati dunia ini, tetapi ada batas-batas yang harus dipatuhi,
sebagaimana firmannya:
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Surah al-Qashash 28: 77)
Apakah
kira batasan-batasan tersebut? Mari kita lihat…
Pertama,
tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup.
“Dan
sesungguhnya Kami menempatkan kamu di atas bumi ini dan Kami jadikan untuk kamu
di atas bumi itu penghidupan buat kamu, tetapi sedikit sekali di antara kamu
yang bersyukur.”
Untuk
apa kita dihidupkan di bumi ini? Dalam banyak ayat, dinyatakan ALLAH bahawa
manusia diberikan kehidupan, “ …untuk Kami uji siapa paling baik amalnya”.
Bagi
seorang Muslim, dunia bukanlah suatu tujuan hidup, melainkan hanyalah sekadar
alat atau jambatan untuk menuju tujuan hidup yang kekal abadi, iaitu kehidupan
akhirat kelak. Bahkan dalam hadith, Rasulullah menyatakan bahawa keikhlasan pun
dapat ternoda, dijelaskannya: “Yang mencampuri keikhlasan itu adalah
kerakusan terhadap dunia dan mengumpul-ngumpulkannya.”
Kedua,
tidak berlebihan-lebihan dengan dunia.
ALLAH
telah menyatakan dengan jelas tentang kecenderungan manusia ini, “dan kamu
mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Surah al-Fajr 89:
20)
Maka
Islam mengatur sikap seorang Muslim terhadap kehidupan dunia, iaitu
mempergunakan secara secukupnya untuk keperluan diri dan keluarga, asal tidak
berlebihan dan bermewah-mewahan kerana perkara itu akan melalaikan kita.
Firman-Nya: “Al hakumut takaatsur.” (bermegah-megah telah melalaikan
kamu).
Sementara
dalam ayat yang lain dinyatakan: “Makanlah di antara rezeki yang baik yang
telah Kami berkan kepadamu, dan jangalah melampaui batas padanya, yang
menyebabkan kemurkaan menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku,
maka sesungguhnya binasalah dia.” (Surah Thaha 20: 21).
Rasulullah
SAW pun pernah bersabda: “Kami adalah kaum yang tidak makan sebelum merasa
lapar dan bila kami makan tak pernah kekenyangan.” (Riwayat Bukhari &
Muslim).
Ketiga,
tidak bersifat kikir dan bakhil.
Keempat,
mengutamakan kesederhanaan dan berikap qanaah.
Dari
Abu Hurairah, diriwayatkan bahawa Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah orang
yang di bawahmu, dan jangan melihat orang yang di atasmu, kerana yang demikian
itu lebih baik, supaya kamu tidak meremehkan nikmat yang dikurniakan ALLAH
kepadamu” (Riwayat Bukhari & Muslim)
Mari
kita mengambil teladan pada Nabi Yusuf as., dia mendapat kepercayaan dari Raja
Mesir untuk mengatur seluruh kekayaan negara, tetapi dia sendiri hampir tiap
hari berpuasa. Ketika orang bertanya, dia menjawab, “Aku takut kenyang dan
melupakan orang yang lapar.”
ZUHUD, POLA HIDUP RASULULLAH
SAW DAN PARA SAHABATNYA
Zuhud,
bererti menjauhi hal-hal yang bersifat materi, atau senangnya, pola hidup
sederhana. Dengan pola hidup zuhud inilah, para sahabat menjalani kehidupannya.
Bila kita merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau oleh kehidupan dunia,
seperti para sahabat, maka kita akan terbebas dari hidup yang menyesakkan. Kita
akan memiliki cara pandang baru terhadap dunia. Jika kita merasa sesak, sedih,
murung, gelisah, pedih, dirisaukan oleh orang banyak masalah nyata ataupun
khayal, maka dengan zuhud kita dapat melaluinya.
Secara
ringkas, zuhud bererti meletakkan kebahagiaan bukan pada dunia dan keduniaan,
Zuhud memiliki ciri-ciri:
- tidak
menggantungkan kebahagiaan hidup pada apa yang dimiliki.
- kebahagiaan
seorang yang zuhud tidak terletak pada hal-hal material, melainkan pada
hal-hal spiritual.
Zuhud
bukanlah beerti meninggalkan dunia dan kenikmatan duniawi, melainkan tidak
meletakkannya pada darjat yang tertinggi, seperti dinyatakan Rasulullah, “Bukanlah
zuhud itu mengharamkan yang halal, bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi
zuhud dalam dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu
lebih diperlukan dari apa yang ada di sisi ALLAH SWT.”
Buah
lain dari zuhud adalah mendekatkan hati kita kepada ALLAH dan manusia,
begitupun sebaliknya, ALLAH pun mencintai kita, dan hati manusia pun akan dekat
kepada kita. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahawa seorang lelaki pernah
mendatangi Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukilah aku pada
suatu amal yang bila aku kerjakan, aku dicintai ALLAH dan dicintai manusia.”
Lalu
Rasulullah bersabda, “Zuhudlah kamu akan dunia, pasti ALLAH mencintaimu.
Zuhudlah engkau akan apa yang ada pada manusia, pasti manusia mencintaimu.”
WaLLAHU
a’lam bish-shawab.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan